ANALISD.COM, PEKANBARU – Melalui Kepolisian, Pemerintah diduga 'mengriminalisasi' tiga masyarakat Pulau Rempang yang memperjuangkan hak atas ruang hidup mereka dari ancaman PSN Rempang Eco-City.
Lebih parahnya, salah seorang korban diduga dikriminalisasi adalah seorang perempuan tua berusia 67 tahun yang sebelumnya juga korban pemukulan oleh karyawan PT Makmur Elok Graha (MEG).
Peristiwa kelam 17 Desember 2024 tersebut berawal dari ditangkapnya karyawan PT MEG yang melakukan perusakan spanduk penolakan PSN Rempang Eco-City. Kemudian masyarakat menghubungi polisi untuk menindaklanjuti pelaku perusakan.
Di hadapan anggota Polsek Galang, masyarakat Rempang menyampaikan keresahannya atas teror perusakan spanduk berulang kali terjadi yang tak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh kepolisian dengan alasan minim bukti.
Hal inilah yang kemudian mendorong masyarakat menyampaikan keresahannya kepada polisi dengan menunjukkan bukti dan pelaku perusakan spanduk serta meminta karyawan PT MEG tidak lagi beraktivitas di Rempang agar kampung mereka aman dari ancaman intimidasi dan teror PT MEG.
Namun bukannya menindaklanjuti tuntutan masyarakat, Polresta Barelang malah menetapkan tiga orang tersebut sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pengeroyokan pasal 170 KUHP dan perampasan kemerdekaan orang lain pasal 333 KUHP yang terjadi pada 17 Desember 2024.
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WKR WALHI Riau menilai penetapan tiga masyarakat Pulau Rempang adalah upaya pembungkaman suara masyarakat Pulau Rempang. Pemerintah menggunakan institusi kepolisian untuk membungkam masyarakat yang berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka.
Masyarakat yang menyampaikan tuntutan agar kampung mereka aman dari segala bentuk teror dan ancaman malah dikriminalisasi dengan pasal yang tidak logis.
“Penetapan ini jelas suatu hal yang sangat dipaksakan. Kita semua tahu bahwa kejadian tersebut berawal dari perusakan spanduk oleh karyawan PT MEG yang berujung penyerangan dua kampung di Pulau Rempang," ujar Eko.
"Pasal yang dituduhkan pun sangat tidak logis, yaitu pasal 333 KUHP. Bagaimana mungkin seorang nenek berusia 67 tahun merampas kemerdekaan seseorang. Terlebih ada anggota Polsek Galang di lokasi pada saat kejadian," sambungnya.
Ishak, Perwakilan Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) menyatakan masyarakat Rempang heran dengan pasal yang menjerat tiga saudara mereka. Padahal mereka hanya menyuarakan hak untuk hidup damai di kampung mereka.
“Kami masyarakat heran juga. Karena pasal yang disangkakan adalah pasal 333. Padahal mereka hanya menyuarakan keinginan mereka untuk hidup damai di kampung mereka,” Ishak.
Walaupun upaya pembungkaman terus dilakukan Pemerintah, hal ini tidak menyurutkan semangat dan solidaritas masyarakat Pulau Rempang. Hal ini ditunjukkan dengan aksi yang dilakukan masyarakat Rempang hari ini di depan Polresta Barelang.
Aksi ini bertepatan dengan agenda pemanggilan terhadap tiga masyarakat Rempang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Barelang pada 6 Februari 2025. Masa aksi mendesak Polresta Barelang segera mencabut penetapan tersangka tiga masyarakat Pulau Rempang dan meminta Presiden Prabowo mencabut PSN Rempang Eco-City.
Marsita, salah satu masa aksi mempertanyakan kepada Presiden terkait keadilan di Pulau Rempang. Ia mendesak Pemerintah untuk segera mencabut penetapan tersangka masyarakat Rempang dan membatalkan PSN Rempang Eco-City.
“Satu tahun lebih berjuang namun tidak ada keadilan bagi masyarakat Pulau Rempang. Kami diserang, dikriminalisasi namun tidak ada yang diproses. Ini kampung kami, kampung nenek moyang kami di sini. PSN (Rempang Eco-City) tidak layak disebut PSN. PSN seharusnya menyejahterakan masyarakat. Ini tidak. PSN mengusir kami dari kampung nenek moyang kami,” ujar Marsita.
Ishak juga menyampaikan tuntutan masyarakat terkait PSN Rempang Eco-City agar Presiden Prabowo untuk segera dievaluasi. Karena masyarakat khawatir atas dampak yang akan terjadi atas pembangunan proyek strategis ini.
“Kami meminta Presiden mengevaluasi PSN Rempang Eco-City. Kami khawatir kalau lingkungan Rempang rusak perekonomian pun akan ikut mati. Hal ini sama saja membunuh kami masyarakat Pulau Rempang” ujar Ishak.
Selain masyarakat Pulau Rempang, berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia juga turut mendesak Polresta Barelang mencabut penetapan tersangka tiga masyarakat Pulau Rempang.
Berbagai organisasi dengan beragam latar belakang baik di tingkat nasional maupun mengirim surat kepada Kapolresta Barelang dan menyampaikan bahwa tindakan Polresta Barelang merupakan bentuk kriminalisasi.
Untuk itu, kami mendesak Kapolresta barelang untuk segera mencabut penetapan tersangka yakni Siti Hawa Als Nenek Awe (67 Tahun), Sani Rio (37 Tahun) dan Abu Bakar Als Pak Aceh (54 Tahun) demi tegaknya Konstitusi, Hukum dan Hak Asasi manusia (HAM) di Indonesia.