ANALISD.com - Diperkirakan sekitar 1,6 juta hektare sawit yang terbangun dalam kawasan hutan gagal diidentifikasi kepemilikannya dan tidak terinventarisasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Walhasil, kepastian mekanisme penyelesaiannya kebun-kebun sawit ilegal itu menjadi tidak jelas.

Berdasarkan data yang dilihat Betahita, hingga 4 Oktober 2023, luas indikatif perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan yang mampu diinventarisasi data dan informasinya oleh KLHK luasnya hanya 1.679.797 hektare.

Luasan tersebut merupakan angka kumulatif dari 1.679 unit kebun hasil inventarisasi yang dilakukan KLHK, yang ada dalam 15 Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang Data dan Informasi (Datin) Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan.

Luasan tersebut masih jauh dari total luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan di Indonesia. Direktur Kehutanan, Yayasan Auriga Nusantara, Supintri Yohar mengungkapkan, menurut data KLHK, luas kebun sawit ilegal yang terbangun dalam kawasan hutan, pada 2019, menyentuh angka 3.374.041 hektare.

Bila dirinci, sekitar 91.074 ribu hektare berada di kawasan Hutan Konservasi, 155.119 hektare di kawasan Hutan Lindung, 1.998.993 hektare di kawasan Hutan Produksi, dan 1.128.854 hektare berada di kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi.

Namun, kata Supin, dari 3,37 juta hektare sawit dalam kawasan hutan itu luasannya telah tereduksi menjadi sekitar 3.312.903 hektare. Sebab ada sekitar 61.138 hektare sawit dalam kawasan hutan yang telah diterbitkan SK Penetapan Pelepasan Kawasan Hutan sebelum Undang-Undang Cipta Kerja berlaku.

 

"Bila 3.312.903 hektare itu dikurangi luas indikatif kebun sawit yang sudah diinventarisasi oleh KLHK, yang luasnya sekitar 1.679.797 hektare, akan menghasilkan angka 1.633.106 hektare. Angka itu bisa diartikan merupakan luas kebun sawit yang belum terinventarisasi masuk dalam SK Datin KLHK," kata Supin, Kamis (2/11/2023).

Direktur Hukum, Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra, menambahkan belum terinventarisasinya data dan informasi seluruh sawit dalam kawasan hutan ini, mengakibatkan mekanisme penyelesaian permasalahannya menjadi tidak jelas. Kasus ini, imbuhnya, bisa menjadi masalah baru dalam proses penyelesaian sawit dalam kawasan.

 

Menurut Roni, karena 1,6 juta kebun sawit dalam kawasan hutan itu tidak terinventarisasi data dan informasinya, maka mekanisme penyelesaian permasalahannya menjadi tidak jelas. Kasus ini, imbuhnya, bisa menjadi masalah baru dalam proses penyelesaian sawit dalam kawasan.

"Jangan sampai persoalan ini kemudian menjadi kelalaian pemerintah yang dapat merugikan orang yang berkebun dalam kawasan hutan tapi tidak pernah terdata," katanya.

"Artinya, jangan sampai pula petani kecil dikenai pidana, hanya karena mereka tidak terinventarisasi. Sebab itu kelalaian pemerintah yang tidak tuntas melakukan inventarisasi," ujar Roni.

Menurut Roni, pemerintah juga tidak bisa menyalahkan petani sawit kecil, karena tidak melakukan self reporting atau pelaporan mandiri. Sebab tidak ada norma hukum dalam UU Cipta Kerja maupun PP No. 24 Tahun 2021, yang mewajibkan subjek hukum, termasuk petani, melakukan pelaporan mandiri.

Roni berpendapat, pemerintah harus memberi penjelasan dan memikirkan cara menyelesaikan permasalahan sawit dalam kawasan hutan yang belum teridentifikasi itu. Sebab, Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 sudah terlanjur mengunci 2 November 2023 sebagai batas akhir waktu para subjek hukum atau pelaku usaha menyelesaikan persyaratan permohonan penyelesaian kegiatan usaha dalam kawasan hutan tanpa izin di bidang kehutanan.

 

"Sementara hingga 2 November ternyata masih ada subjek hukum yang belum teridentifikasi, sehingga tidak masuk dalam SK datin KLHK. Sehingga para subjek hukum itu tidak memiliki kepastian hukum, hanya karena kelalaian pemerintah," ujar Roni.

Tidak tuntasnya inventarisasi sawit dalam kawasan hutan ini, lanjut Roni, juga bisa mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi pekebun sawit skala kecil untuk lepas dari sanksi administratif yang diatur UU Cipta Kerja.

Selain itu, Roni menambahkan, di Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, beberapa waktu belakangan muncul rumor yang meresahkan masyarakat, yang isinya menyebut bahwa masyarakat yang sudah berkebun sawit dalam kawasan hutan akan dipidana setelah 2 November 2023. Roni berharap pemerintah segera memberi penjelasan kepada publik, mengenai mekanisme penyelesaian kebun sawit rakyat sesuai yang diatur UU Cipta Kerja.

Roni menguraikan, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021, mengecualikan pengenaan sanksi administratif bagi orang perseorangan yang menguasai kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 hektare. Kasus orang perorangan yang menguasai kawasan hutan dimaksud diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.

"Penataan kawasan hutan dimaksud meliputi perhutanan sosial, tanah obyek reforma agraria, atau perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan ini maksudnya perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan," ucap Roni.

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index