ANALISD.com - Pemerintah sedang memperoses pemutihan kebun sawit dalam kawasan hutan seluas sekitar 3,3 juta hektar.  Aturan perhitungan denda administrasi dinilai berisiko besar merugikan negara.

Untuk membahas antara lain soal dasar perhitungan denda administrasi pada perusahaan yang mengikuti skema pemutihan dalam SK Menteri LHK Nomor SK.661 ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, datangi Ombudsman pada 31 Oktober lalu.

Saat itu, Bambang Hendroyono,  Sekretaris Jenderal KLHK yang datang ke Ombudsman. Setelah pertemuan sekitar dua jam, berdiri di samping anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika , dia menyebut telah menceritakan detail kepada Ombudsman soal penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang tengat pendaftaran 2 November lalu.

SK Menteri LHK Nomor SK.661 ini, merupakan penyederhanaan formula perhitungan kewajiban penerimaan negara bukan pajak (PNBP) provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (PSDH-DR) yang harus dibayarkan perusahaan dalam pemutihan ini.

Kali ini,  PSDH-DR tidak memerhatikan jenis kayu dari kawasan hutan yang diputihkan. Rumus yang dipakai ialah taksiran volume kayu dikali potensi kayu dan luas areal terbangun.

Taksiran volume kayu ditetapkan jadi 25,7 m3 per hektar dan potensi kayu jadi kayu rimba campuran, sortimen kayu bulat dengan tarif PSDH tertinggi Rp48.000 per meter kubik, dan tarif dana reboisasi US$13 permeter kubik.

“Nanti luasan (perusahaan dalam kawasan hutan) dikali 25,7 dikali PSDH,  48.000 terus DR per dolar ditetapkan 13, lalu kalau dikali Rp15.000 bisa kehitung per hektarnya,” kata Bambang.

 

Contoh perhitungan denda administratif

 

Perhitungan masih berproses dan belum rampung.  Tetapi, kata Bambang,  ada potensi PNBP hingga Rp6 triliun jika ada 1 juta hektar lahan berhasil diselesaikan dalam skema 110A. Dengan perhitungan itu berarti, denda administrasi sawit dalam kawasan hutan hanya Rp6 juta per hektar.

Mongabay dan Betahita.id mencoba melakukan penghitungan dengan metode berbeda pakai rumus sama.  Perhitungan PSDH berdasarkan potensi tegakan yang mengacu pada neraca sumber daya hutan tahun 2022 terhadap jenis tutupan dan status kawasan hutan yang dilihat berdasarkan data tutupan tahun 2000.

Dengan dua pendekatan hitungan, volume tegakan pohon diameter lebih 20cm dan 50cm, selisih antara perhitungan PSDH-DR-nya bisa puluhan hingga ratusan miliar rupiah per perusahaan. Itu pun belum menghitung jenis kayu sebagaimana yang jadi rujukan penghitungan PSDH sesuai Permen LHK 64/2017.

Salah satu, PT Bumitama Gunajaya Abadi di Kalimantan Tengah, jadi sampel perhitungan. Penghitungan denda dengan SK 661 hanya Rp57 miliar, sedang skenario penghitungan potensi tegakan pohon lebih 20 cm dari status kelas tutupan lahan hutan produksi rawa sekunder mencapai Rp258 miliar. Lalu, Rp74 miliar untuk potensi tegakan pohon dengan diameter lebih 50 cm.

Pun demikian dengan PT Palma Satu, di Riau,  yang kelas tutupan hutan pada 2020 berupa hutan produksi rawa sekunder. Kalau gunakan SK 661, maka PSDH-DR sekitar Rp85 miliar. Kalau merujuk neraca sumber daya hutan untuk potensi tegakan dengan diameter pohon lebih 20 cm, maka PSDH-DR mencapai Rp499 miliar dan Rp149 miliar untuk tegakan pohon dengan diameter lebih 50 cm.

 

Taman Nasional Tesso Nilo, sebagian juga jadi kebun sawit. Akankah masalah 'keterlanjuran' ini selesai dengan aturan turunan UU Cipta Kerja? Foto:

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Uli Arta Siagian,  Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional 1 November lalu menyebut,  ada potensi kerugian negara dari perbedaan penghitungan itu.

Penyederhanaan penghitungan oleh pemerintah, katanya,  menunjukkan kemalasan dan keberpihakan pada korporasi.

“Kalau pemerintah malas, karena perhitungan ribe, kenapa tidak pakai kekuatan mereka untuk minta ahli kehutanan dan ekonom menghitung denda-denda ini?” katanya.

Perhitungan yang disimplifikasi, kata Uli, membuat negara menerapkan denda kecil yang sebenarnya tidak signifikan dengan kerusakan dampak dari perusahaan sawit ini. Pemulihan lingkungan, katanya,  akan sulit dilakukan.

“Belum lagi kalau ternyata perusahaan mengalami kebakaran atau ada konflik dengan masyarakat. Itu kerugian yang tidak bisa ditafsir dengan angka.”

Bambang tidak khawatir terhadap kerugian negara dengan memberlakukan single tarif. Kesepakatan dalam SK dia sebut  untuk memastikan ada meter kubik kayu yang terhitung.

“SK itu memang kesepakatan kita, karena sudah tidak ada lagi pohon di lapangan. Tapi waktu itu pasti ada pohon, maka hitungannya segitu supaya didapat meter per kubiknya.”

Dia bilang, sanksi administratif lebih fokus pada pembenahan tata kelola sawit. Dengan membayar PSDH-DR, katanya, perusahaan akan mendapatkan legalitas dan diakui tidak lagi di kawasan hutan.

“Hingga mereka berada pada ruang yang sesuai yang diminta untuk tanam sawit. Tidak di kawasan hutan lagi, hak dan kewajiban,” kata Bambang.

 

Area PT Tandan Sawita Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Buah sawit baru panen. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Transparan, ini hutan negara, bukan hutan KLHK

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch 1 November lalu menyebut, melakukan perhitungan tarif PSDH-DR secara internal dan menemukan angka Rp50 juta-Rp60 juta per hektar. “Menurut teman-teman (di Sawit Watch) itu kecil banget,” katanya.

Tetapi, kata Rambo, hitungan besar atau kecil tarif PSDH0-DR bukan masalah yang disoroti masyarakat sipil. Keterbukaan pemerintah untuk menyebut siapa saja subyek hukum dan kawasan yang dihitung menjadi hal penting.

“Karena hutan yang dihitung ini hutan negara, bukan hutan KLHK. Jadi,  publik berhak tahu bagaimana prosesnya. Kami bisa bantu untuk mengawasi,” kata Rambo.

Walhi juga mengkritik ketidaktransparan pemerintah. Menurut Uli, pemerintah justru menggunakan diskresi besar untuk menutup sumber informasi, bukan hanya kepada masyarakat sipil, juga lembaga lain seperti DPR dan KPK yang bisa lakukan pengawasan.

“DPR, KPK dan masyarakat sipil ini kan penting mengawasi proses yang berpotensi menyebabkan kerugian negara ini,” kata Uli.

 

 

Dominan kebun sawit perusahaan

Luhut Binsar Panjaitan,  Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi,  akhir Juni lalu menyebut,  ada 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan. Kebun-kebun inilah yang akan diputihkan lewat skema Pasal 110A dan 110B dalam Peraturan Pemerintah No 24/ 2O2I sebagai aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja.

KLHK jadi pihak yang menginventarisasi subyek hukum yang akan mendapat pemutihan ini. Berdasarkan data KLHK yang diperoleh Mongabay, ada 1.679 kebun berhasil diinventarisasi.

Berdasarkan luasan indikatif, ada 1.679.797 hektar perkebunan sawit terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan bidang kehutanan per 4 Oktober 2023.

Angka ini merupakan hasil akumulasi inventarisasi data sawit dalam kawasan hutan yang tercantum dalam SK Datin tahap I-XV yang ditetapkan KLHK.

Dilihat dari subjek hukum, 1.679 kebun sawit itu terdiri dari 1.263 kebun terindikasi punya perusahaan atau korporasi seluas 1.473.946,08 hektar. Kemudian, 119 kebun koperasi seluas 99.654,47 hektar, dan 297 kebun masyarakat atau kelompok tani seluas 106.196,90 hektar.

Data sama menyebut ada 1.131 kebun seluas 1.374.332,8 hektar yang dinyatakan sudah melengkapi persyaratan untuk permohonan penyelesaian.

Dari unit yang sudah dinyatakan melengkapi persyaratan, 969 dengan luas indikatif 867.313,22 hektar akan ditetapkan dengan mekanisme Pasal 110A/Pasal 110B. Sementara yang sudah pasti pakai Pasal 110A ada 162 kebun luas indikatif 507.009,58 hektar.

Kalau dirinci lagi, 78 kebun dari 162 unit yang menggunakan  mekanisme Pasal 110A sudah mendapatkan SK penetapan batas pelepasan kawasan hutan atau penetapan areal kerja.  Sebanyak 29 kebun sudah mendapatkan SK persetujuan pelepasan kawasan hutan dan 55 dalam proses tim terpadu.

Bambang menyebut, sudah 90% pemutihan sawit dalam kawasan hutan rampung menggunakan Pasal 110A. Capaian ini tidak lepas dari kerjasama dengan grup-grup korporasi sawit.

“Jadi ketika kita pegang grup itu anggotanya jadi cepat prosesnya, ya,” katanya.

Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat nama grup besar perusahaan sawit dalam negeri sebagai pemilik 162 kebun sawit yang gunakan mekanisme Pasal 110A, antara lain Sinarmas, Wilmar, Bumitama Gunajaya Agro, hingga Salim. Ada juga perusahaan asing seperti Genting Plantation dan Kuala Lumpur Kepong asal Malaysia.

 

Kebun sawit ilegal adalah ancaman utama Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Setop keberpihakan pada korporasi

Pendaftaran penyelesaian sawit dalam kawasan hutan sampai 2 November lalu dengan pembayaran denda bisa sampai akhir Desember 2023.

Achmad Surambo menyebut, pemerintah seharusnya memberikan pidana kepada perusahaan sawit sejak awal.“Karena banyak kasus yang bisa diselesaikan dengan penegakan hukum,” katanya.

Satu contoh, kasus Register 40, Mahkamah Agung sudah vonis atas pembukaan 47.000 hektar kebun sawit di kawasan hutan di Padang Lawas Utara, Sumatera Utara ini. Kasus ini, kata Rambo, sudah berkekuatan hukum tetap.

Linda Rosalinda, Direktur Eksekutif TuK Indonesia dalam diskusi daring menyebut,  pemutihan sawit bukan untuk penerimaan negara, melainkan untuk perbesar land bank.

Dari identifikasi mereka, grup-grup besar penerima pengampunan ini akan memakai lahan-lahan yang mereka dapat dari pemutihan untuk menambah dana dari perbankan.

“Mereka bisa memainkan bisnis lain, capital pasif bisa diaktifkan, dengan bermain carbon trading, misal,” katanya.

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index