ANALISD.com, Inhil - Dua nelayan datang mengantar hasil tangkapan ke rumah Samsuri. Sebelum itu, beberapa nelayan juga datang jual hasil tangkapan mereka kepada pengepul ikan di Desa Kuala Selat, Indragiri Hilir, Provinsi Riau itu. Hari itu, Samsuri mengumpulkan 45 kilogram ikan tidak lebih dari 10 nelayan.

“Sekarang [hasil tangkapan] nggak tentu, nggak bisa diprediksi. Turun terus,” kata lelaki 52 tahun ini.

Sore di akhir Juli itu,  dia dapat beberapa jenis ikan tangkapan nelayan, seperti tenggiri, dan tongkol, tampak masih segar. Meski tak banyak, itu sudah lumayan untuk nelayan tradisional yang mengandalkan perahu kecil dan alat tangkap sederhana. Jaring kadangkala tak kuat menahan arus laut.

Samsuri satu dari 33 keluarga Suku Duano yang bermukim di pesisir Desa Kuala Selat. Sejak lima tahun lalu dia tak lagi jadi nelayan, beralih ke pengepul. Tak jarang dia cemas bila nelayan tak membawa apa-apa selepas melaut.

Sejak puluhan tahun hidup di pesisir, kini hanya sedikit yang bertahan jadi nelayan. Tantangan di laut, katanya,  makin berat. Sehari sebelumnya dia hanya mengumpulkan 60 kilogram ikan dari nelayan Duano yang tersisa belasan.

Samsuri (kiri) menimbang ikan hasil tangkapan nelayan Kuala Selat. Foto: Tonggo Simangunsong

Pada masa-masa sebelumnya, kata Samsuri, pengepul dapat menampung hingga satu pikul atau paling sedikit 80 kilogram ikan setelah seharian menyusuri laut. Tak jarang, seorang nelayan dapat membawa pulang 30 kilogram ikan sekali melaut.

Hasil tangkapan dari laut makin hari makin sedikit. Dengan perahu tradisional, mereka harus lebih jauh ke tengah laut, paling dekat sekitar 2-3 mil dari pesisir.

Beberapa dekade silam Suku Duano hidup di atas sampan, berpindah-pindah dari pesisir ke pesisir, tak pernah menetap di satu tempat. Karena pola hidup nomaden di laut itu Suku Duano dijuluki ‘Orang Laut.”

Sejak 1960-an,  mereka mulai menempati pesisir, termasuk di Kuala Selat. Populasi suku ini terus bertambah. Mereka mulai beradaptasi dengan komunitas pesisir yang lain. Sejak lebih dari lima dekade terakhir perubahan iklim memperburuk kehidupan mereka. Abrasi pantai terus terjadi karena terjangan gelombang makin besar.

Bujang, Kepala Suku Duano Kuala Selat, mengingat kembali peristiwa pindah rumah karena gelombang dan abrasi pertama kali pada 1989. Lelaki 55 tahun ini bersama keluarganya sudah tiga kali pindah rumah dari bibir pesisir.

Gelombang laut menyapu pesisir dan pemukiman mereka. Kalau dihitung sejak 1980-an, lebih 1.000 meter daratan berubah jadi laut.

Pada 2006,  tsunami menyapu puluhan rumah warga Kuala Selat. Waktu itu, tak ada yang dapat diselamatkan selain pakaian di badan. Rumah rata dengan laut memaksa mereka pindah. Pada 2021, tsunami kecil kembali menghantam puluhan rumah warga, dan memaksa mereka berpindah lagi.

Rumah-rumah yang rusak dan tak lagi berpenghuni akibat abrasi. Foto: Tonggo Simangunsong

Mangrove terkikis, gelombang laut tak tertahan

Kuala Selat,  potret dampak abrasi di kawasan pesisir pantai timur Riau. Berdasarkan citra satelit dengan Google Earth Pro, yang merekam kondisi sepanjang 2008-2023 tampak perubahan bibir pantai.

Dengan fitur penghitungan jarak, sepanjang 15 tahun terjadi abrasi di Kuala Selat sepanjang 412 meter. Perkiraan itu dengan mengukur jarak rumah yang masih berdiri 2008 ke bibir pantai. Tahun 2022,  rumah itu sudah tenggelam rata dengan laut.

Menurut penuturan warga, abrasi terus terjadi karena gelombang laut makin tinggi diperparah hutan mangrove di pesisir terkikis hingga penahan angin dan abrasi makin tipis.

Keti, Tetua Suku Duano, mengatakan, meski sudah berpindah-pindah karena diterjang air pasang, pemukiman mereka kini masih terancam tenggelam. Angin utara yang kencang makin terasa ketika hutan mangrove penopang pesisir ikut terkikis. Air pasang, kata pria 63 tahun ini, sewaktu-waktu bisa menenggelamkan rumah-rumah mereka.

“Mangrove habis, rumah-rumah ini juga akan habis. Padahal, mangrove itu benteng rumah kita. Tak ada pertahanan lagi,” katanya.

Hilangnya hutan mangrove terpicu aktivitas penebangan kayu bakau dan api-api. Hutan mangrove tak lagi jadi daerah tangkapan utama para nelayan. Tak ada lagi telur-telur ikan yang berkembang biak di sana.

Meski masih ada sebagian nelayan yang menangkap ikan di sekitar hutan mangrove tersisa, hasil tangkapan pun sedikit. Sangat jauh berbeda ketika dulu mangrove pesisir lebat dengan berbagai jenis dari bakau, nipah, api-api dan lain-lain. Di akarnya,  ikan-ikan bertelur dan berkembang biak, tak sulit bagi nelayan mendapatkan udang dan kepiting.

Keti masih sempat merasakan masa itu.

“Kalau dulu, masih ada mangrove, pernah sampai satu ton naiknya udang dan ikan. Udang melimpah. Masih mengalami saat itu. Kalau sekarang ini jauh betul,” katanya.

Hutan mangrove pesisir Kuala Selat terkikis, menurut Keti dan sejumlah warga, karena aktivitas penebangan kayu. Kalau warga, katanya,  kayu mangrove untuk bikin rumah dan pelataran sekitar tempat tinggal.

“Tapi penebangan bakau hanya untuk pribadi. Tak ada jual keluar. Kalau beli tak mampu. Terpaksa tebang sendiri, walau pemerintah marah,” kata Keti.

Kondisi kawasan pesisir Kuala Selat yang sebagian besar mangrove-nya telah hancur diterjang arus laut dan tidak mampu lagi menahan abrasi. Foto: Imam Taufik

Masalah besar yang tak dapat dihindari adalah penebangan mangrove oleh masyarakat luar untuk kepentingan bisnis dan pembangunan.

Zainal Arifin Hussein, pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Indragiri Hilir (Unisi), mengatakan, kayu mangrove dari Kuala Selat banyak diangkut ke Pulau Guntung, pusat pemerintahan Kecamatan Kateman.

Sependapat dengan Keti, bukan masyarakat Duano yang menebang hutan mangrove besar-besaran hingga menyebabkan kawasan itu terkikis, tetapi oknum-oknum pebisnis kayu ilegal.

“Kalau masyarakat Duano mau bangun rumah [harus terlebih dahulu] minta izin ke kepala desa atau wali. Duano tidak punya budaya bertani. Mereka tidak berpikir punya kebun, yang dipikirkan ialah mangrove harus terjaga, ikan banyak dan bisa melaut,” kata Zainal.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Peta Mangrove Nasional 2021, luas hutan mangrove rusak di Riau 155.540 hektar dari 482.000 mangrove terdegradasi di sembilan provinsi.

Tengku Fauzan Tambusai,  Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, mengatakan, untuk menanggulangi kerusakan hutan mangrove, Pemerintah Riau menetapkan program rehabilitasi kawasan mangrove di Indragiri Hilir. Tahun ini, baru penanaman di Desa Sapat, Kecamatan Kuala Indragiri dan Desa Igal, Kecamatan Mandah

“Untuk Desa Kuala Selat, bisa mengusulkan ke DKP Riau atau ke DLHK untuk penanaman mangrove ini,” kata Fauzan, lewat keterangan dikirim melalui WhatsApp.

Soal pemukiman nelayan Suku Duano terancam abrasi, kata Tengku Fauzan, pemerintah melalui Badan Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) III sudah membuat rencana.

Parid Ridwanuddin,  Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan Walhi Nasional, mengatakan, ketidakstabilan musim yang dihadapi nelayan di Kuala Selat, merupakan gambaran dampak krisis iklim yang mengancam kehidupan lebih dari 2 juta nelayan tradisional di Indonesia.

Lewat data BMKG, menurut Parid percepatan La-Nina dan El-Nino di Indonesia terus terjadi lebih intens. Kalau 1950-1980, siklus terjadi 5-7 tahun sekali, sejak 1980 sampai sekarang, lebih cepat, 2-3 tahun sekali.

La-Nina maupun El-Nino sama-sama ditandai perubahan pada permukaan air laut yang makin berbahaya, terutama bagi nelayan.

Parid merujuk catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2022 terjadi 1.057 cuaca ekstrem dan 26 kali gelombang pasang maupun abrasi di pesisir serta laut. Banyak nelayan tangkap tradisional tak bisa melaut.

Pada 2010, katanya. nelayan meninggal karena cuaca buruk ada 87 orang. Sepuluh tahun kemudian naik jadi 251 orang. Walhi mencatat,  dalam satu tahun, maksimal nelayan hanya bisa melaut 180 hari.

Dia menyarankan, pemukiman masyarakat adat pesisir Suku Duano harus layak dan aman dari ancaman krisis iklim tetapi tidak jauh dari laut.

Hal itu, katanya,  penting masuk dalam rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) atau revisi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang memuliakan kawasan pemukiman nelayan Duano.

Lebih jauh, katanya, pemukiman nelayan tradisional harus didesain dengan pendekatan mitigasi krisis iklim yang bersifat jangka panjang.

“Jika tidak, maka nelayan tradisional terancam menjadi pengungsi iklim.”

Tampak pancak-pancak kayu penahan rumah yang telah diterjang gelombang laut di Desa Kuala Selat. Foto: Tonggo Simangunsong

Tak lagi andalan

Suku Duano, kebanyakan jadi nelayan kecil dengan sampan dan alat tangkap tradisional. Dengan begitu, mereka hanya bisa menangkap ikan di bibir pantai.

Dengan bibir pantai banyak hutan mangrove terkikis, kata Keti, nelayan tak lagi jadi andalan Suku Duano buat hidup di pesisir. Selain sebagai buruh kapal, anak-anak muda kini banyak sebagai buruh panjat di kebun kelapa dengan upah Rp30.000 per ton.

Ada juga sebagai buruh kasar, seperti, bongkar muat pasir dan batu termasuk segala jenis barang di Kuala Selat yang jadi penghasilan sampingan kalau angin utara tiba.

Fajar, nelayan Suku Duano bilang, mencari ikan dengan belat hanya 20 hari dalam satu bulan. Dalam tiap 10 hari ada libur lima hari. Saat jeda, dia jadi buruh kelapa di kebun milik warga.

Bersama menantunya, dia dapat Rp100.000 setelah pasang belat sekitar tujuh jam, kadang cuma Rp60.000. Paling banyak Rp280.000.

Dia berharap, dapat menangkap ikan kakap karena harga tinggi, satu kilogram Rp80.000. Berat satu kakap antara 5-10 kilogram. Kakap lima kilogram sering menjebol belat nelayan kecil.

Biasa mereka mendapat dapat sembilang, campur belanak dan udang batu. Kalau musim angin utara, dia sama sekali tak berani melaut.

“Kalau angin kencang, ikut sama orang pakai perahu besar. Kalau pakai sampan sendiri harus bekayuh (mendayung). Macam mane sampai Tanjung Datuk?” katanya.

Tanjung Datuk  di perairan Tanjung Balai Karimun—Kuala Selat berbatasan dengan Kepulauan Riau—terkenal dengan gelombang besar. Tak jarang kapal bermuatan penuh dan melebih kapasitas tenggelam dihantam gelombang di sana.

Dia pernah beberapa bulan tak melaut karena sampan lapuk. Tak ada biaya perbaikan. Ketika belat koyak karena dilanggar kakap besar, dia terpaksa meminta sedikit benang ke tauke untuk merajut kembali alat tangkap itu.

Dalam kondisi susah ini, para nelayan hadapi sendiri. Fajar bilang, lebih separuh umur jadi nelayan, belum pernah dapat bantuan pemerintah.

Tengku Fauzan mengatakan, tiap tahun DKP Riau memberikan bantuan hibah sarana penangkapan ikan kepada nelayan. Melalui program pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai 12 mil. Kegiatan ini juga disebut penjamin ketersediaan sarana usaha perikanan tangkap. Dia merujuk Pergub No 2/2022 tentang pedoman hibah dan bantuan sosial bersumber dari APBD.

“Untuk bantuan tergantung permohonan usulan dari kelompok. Nelayan Suku Duano juga dapat mengajukan permohonan bantuan sesuai ketentuan berlaku,” kata Fauzan.

Zainal Abidin, Pelaksana Harian Kepala Desa Kuala Selat, dan Kasi Pemerintahan, Junaidi M, berpandangan, sebenarnya tidak ada penurunan hasil tangkap nelayan. Fenomena itu terjadi karena jumlah nelayan makin bertambah dari hari ke hari. Dulu, nelayan hanya orang Duano di Kuala Selat, kini masyarakat Bugis, Jawa, dan Melayu.

Madi bersama istrinya sebelum dia pergi bekerja untuk kapal penangkap ikan. Foto: Tonggo Simangunsong.

Buruh kapal

Beratnya hidup jadi nelayan memaksa orang-orang suku Duano bekerja sebagai buruh kapal besar penangkap pengusaha di Kuala Selat. Mereka tak mampu lagi jadi nelayan mandiri.

Yanto, warga Suku Duano bekerja untuk kapal penangkap ikan mengatakan, dalam sebulan melaut selama 15 hari, tetapi pulang harian. Dua orang bekerja untuk satu kapal, satu sebagai tekong atau nakhoda dan satu lagi anak buah kapal disebut orang depan. Upah dihitung per toho, setara Rp1,1 juta untuk tekong dan Rp1 juta untuk orang depan.

Besaran upah itu baru bertambah sekitar tiga tahun belakangan. Sebelumnya kurang dari Rp1.000.000.Mereka dapat upah tetap, tidak berdasarkan hasil tangkapan. “Berapa pun banyak dapat ikan, gaji segitu aja. Paling kalau tauke pengertian ditambah Rp200.000. Kadang pas gaji pokok-lah.”

Belasan tahun jadi kuli nelayan bagi pemilik kapal gumbang, Yanto belum pernah mengecap upah jutaan rupiah selama melaut. Upah tertinggi Rp700.000. Setelah itu, harus berhenti melaut karena kesehatan memburuk.

Dia berharap, punya usaha nelayan sendiri. Dia bersama nelayan Duano lain pernah mengajukan proposal ke Dinas Perikanan setempat justru yang dapat nelayan di luar kelompoknya.

“Itulah kami Suku Duano. Tak ada kendaraan tangkap ikan. Ada punya perahu, tapi tak punya jaring,” kata Yanto.

Senada dikatakan Madi. Dia melaut sejak berhenti sekolah dasar dan jadi kuli nelayan kapal gumbang. Lelaki 24 tahun ini sempat terima upah Rp1 juta dari awalnya Rp800.000. Kemudian berhenti karena cekcok dengan tekong. Sekarang, beralih jadi kuli nelayan kapal jaring.

Madi bilang, kuli nelayan kapal gumbang dan jaring berbeda. Kalau di kapal jaring, dia terima upah berdasarkan hasil tangkap. Hari melaut tetap hitungan per toho. Terkadang bermalam di tengah laut atau sekedar menepi, sekitar dua malam.

Setiap 15 hari, setelah semua ikan diakumulasi, nelayan akan terima gaji. Pemilik kapal dapat bagian lima, tekong tiga dan orang depan dua, setelah dikurangi biaya operasional dan lain-lain. Kalau pendapatan bersih Rp1 juta, misal, pemilik kapal dapat Rp500.000, tekong Rp300.000 dan orang depan Rp200.000.

Selain soal upah, ada juga perbedaan lain. Kalau melaut dengan gumbang, tekong dan anak buah kapal boleh bawa rawai atau pancing sendiri. Hasilnya, dibagi dua dan tak harus diserahkan ke pemilik kapal.

Pemilik kapal jaring tidak perkenankan anak buahnya bawa rawai sendiri karena di kapal itu juga disediakan alat tangkap. Alhasil, selain pakai jaring, tekong dan anak buah kapal juga harus mengoperasikan rawai.

Madi pernah mencoba jadi nelayan mandiri. Dia membeli perahu tetapi meminjam jaring nelayan lain. Kalau jaring rusak, biaya perbaikan ditanggung bersama. Hasilnya dibagi sesuai kesepakatan setelah dikurangi biaya operasional, seperti solar, dan konsumsi.

Dia tak mampu bertahan lama. Terakhir kali menjaring pada 2016. Perahu lapuk,tak layak pakai. Dia tak punya uang untuk memperbaiki. Hasil tangkapan pun sedikit, paling banyak dapat Rp600.000 dengan ikan campur, pernah cuma dapat dua ikan.

“Pencarian di sini susah. Dapat hanya untuk harian. Tak menentu. Kadang lebih kadang tidak. Kadang dapat Rp100.000. Kadang pulang pun tak cukup.”

Alih-alih mengubah kehidupan lebih baik, Madi kembali jadi kuli nelayan. Upah yang diperoleh tetap tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hubungan kerja dengan pemilik kapal kurang menguntungkan. Tak ada jaminan sosial baik keselamatan kerja maupun kesehatan bagi kuli nelayan Kuala Selat.

Beginilah pesisir Kuala Selat setelah tiga kali dihantam gelombang tsunami. Rumah-rumah dihempas gelombang laut dan sewaktu-waktu terendam ketika pasang tiba, dan kehidupan nelayan kian terpuruk. Foto: Tonggo Simangunsong

Kalau nelayan jatuh sakit dan libur melaut, mereka harus mencari pengganti dan membayar upahnya. Besaran Rp50.000 per arus. Satu hari melaut dihitung dua arus atau pasang surut. Berarti nelayan harus merogoh kocek Rp100.000 buat pengganti yang diambil dari upah mereka.

Kalau ada kerusakan alat tangkap, nelayan harus memperbaiki sendiri. Meski biaya ditanggung tauke bersangkutan, tetapi nelayan tak mendapat upah tambahan. Kuli nelayan terutama anak buah kapal juga bertanggungjawab membersihkan kapal, tiap kali pulang melaut, atau sebelum kembali ke rumah.

Bekerja sebagai buruh nelayan bukan pilihan menyenangkan, namun kondisi memaksa mereka di tengah sulitnya pencarian. Nelayan berharap bisa lepas dari kondisi sulit ini.

“Lepas dari kuli nelayan. Punya usaha sendiri, kalau sakit tak dipaksa bekerja.Tak harus keluar upah untuk nelayan pengganti,” kata Madi.

*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund–Pulitzer Center.

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index