ANALISD.com - Perusahaan-perusahaan dengan titik panas melimpah memiliki sejarah menyumbang karhutla pada tahun-tahun sebelumnya, terutama pada karhutla besar 2015 dan 2019. Bencana karhutla dalam konsesi seperti berulang di titik yang sama, para aktivis lingkungan menduga korporasi di titik panas tak pernah jera.

Identifikasi Pantau Gambut menyebutkan 5 besar perusahaan di atas lahan gambut dengan hotspot (titik panas) terbanyak. Mereka adalah PT Mekar Karya Kahuripan (MKK) di Kalimantan Barat dengan 675 titik panas, PT Sumatera Unggul Makmur (SUM) di Kalimantan Barat dengan 397 titik panas, PT Sebukit Inter Nusa (SIN) di Kalimantan Barat  dengan 309 titik panas, PT Bina Agro Berkembang Lestari (BABL) di Kalimantan Barat dengan 188 titik panas, dan PT Palma Satu (PS) di Riau dengan 131 titik panas.

Hasil analisis historis kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di area konsesi lima perusahaan itu ternyata cukup panjang. 

Tiga perusahaan, PT MKK, PT PS, dan PT SIN menyumbang karhutla di tahun 2015. Olah data milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) oleh Pantau Gambut menyebutkan Karhutla di PT MKK pada tahun 2015 mencapai luas 262 hektare,  PT PS seluas 254 ha, dan PT SIN seluas 129 ha. 

Pada karhutla 2015, tercatat lebih dari 2,6 juta ha hutan dan lahan hangus terbakar. Sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan hampir tertutup asap. Karhutla ini menjadi perhatian internasional. 

Sedangkan pada 2019, lima perusahaan itu memberikan kontribusi karhutla. Karhutla di PT MKK mencapai 5.872 ha, PT PS mencapai 7 ha, PT BABL mencapai 257 ha, PT SIN seluas 500 ha, dan PT SUM seluas 1.653 ha. 

Pada Karhutla 2019, tercatat lebih dari 1,6 juta ha hutan dan lahan terbakar. Bencana ini pun terekam sebagai karhutla terbesar setelah 2015.

Namun kebakaran dalam lahan konsesi kelimanya tak hanya terjadi saat bencana karhutla nasional sedang berada di puncak. Pada 2018, luas karhutla di lima konsesi di atas gambut ini cukup tinggi. 

Karhutla di PT MKK mencapai 898 ha, PT PS mencapai 596 ha, PT BABL mencapai 1.528 ha,, PT SIN seluas 1.997 ha, dan PT SUM seluas 4.334 ha.

Juru Kampanye Pantau Gambut, Abil Salsabila, menyebutkan luasan kebakaran hutan di area 5 perusahaan secara historis periode 2015-2020, merupakan bukti lemahnya komitmen pelaku usaha menyediakan sistem, sarana, dan prasarana pencegahan serta pengendalian karhutla. Padahal penyediaan sistem ini diatur dalam Permen LHK No. 32/2016 dan Permentan No. 5/2018.  

“Sejauh temuan PG, hingga hari ini, kelima perusahaan dengan histori kebakaran yang terus berulang di dalam konsesinya belum ada satupun yang diproses secara hukum. Padahal, perusahaan bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) dan tanggung renteng (vicarious liability) atas kebakaran yang terjadi di konsesinya,” jelasnya. 

Pemerintah, kata dia, harus segera menindaklanjuti temuan ini dengan melakukan evaluasi dan prosedur penegakan hukum, sebagaimana telah diatur dalam UU Kehutanan, UU PPLH, dan UU Perkebunan.

Senada dengan Abil, Direktur Hutan Auriga Nusantara, Supintri Yohar, menyebutkan bencana karhutla sebenarnya dapat diantisipasi dengan prakiraan cuaca. Anehnya, kejadian terus berulang, berarti komitmen pencegahan adalah nihil.

“Misalnya saja perusahaan membentuk tim pencegahan karhutla. Ketika sepekan tidak ada hujan, maka tim itu disiagakan. Ini jadi tak masuk akal, jika sudah berhari-hari tak hujan kemudian muncul api dan membesar, berarti tim itu tak pernah ada,” ucap dia. 

Terhubung dengan Grup Besar

Supin beranggapan pemerintah seharusnya dapat melakukan penindakan hukum secara lebih tegas. Apalagi lima perusahaan itu terhubung dengan grup besar. Artinya, sanksi tegas akan membawa dampak besar. 

PT MKK terhubung dengan Makin Group (Matahari Kahuripan Indonesia), PT SUM terhubung dengan Ganda Group, PT BABL terhubung dengan Cipta Tumbuh Berkembang, PT SIN terhubung dengan Sioeng Group, dan PT PS terhubung dengan Duta Palma Group.

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, mengungkapkan temuan lembaganya menunjukkan titik panas pada 2023 ini masih terlihat di beberapa perusahaan yang pernah diajukan ke pengadilan karena karhutla. Walhi Kalimantan Barat menunjukkan adanya titik panas di konsesi PT Pranaindah Gemilang (PG). Padahal pada 2020 lalu, PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan KLHK terhadap PT PG terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Perusahaan itu terbukti telah menyebabkan terjadinya kebakaran lahan seluas 600 hektar dan mengakibatkan kerusakan lahan gambut di Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. 

Tak hanya itu empat perusahaan yang disegel oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) lantaran karhutla, dua diantaranya pernah disegel sebelumnya. Empat perusahaan itu adalah PT MTI Unit 1 Jelai seluas 1.151 ha, PT CG 267 ha, PT SUM 168,2 ha, dan di PT FWL seluas 121,24 ha.

“PT Condong Garut (CG) ini pernah disegel sebelumnya oleh Polda Kalbar bersama polisi hutan dan PT SUM juga sama. tapi mereka seperti tak pernah jera. Ini yang kami pertanyakan, apa benar mereka itu kemudian diberi sanksi,” keluhnya. 

Hingga kini penelusuran Yayasan Madani Berkelanjutan mengidentifikasi Area Indikatif Terbakar dari Januari hingga 21 Agustus 2023 mencapai 262 ribu ha. Area terindikasi terbakar di wilayah izin dan konsesi meningkat berkali-kali lipat dari Juni ke Agustus. Area Indikatif Terbakar paling tinggi dari Januari-21 Agustus 2023 terdapat di izin perkebunan sawit dengan 40 ribu ha, disusul PBPH-HT (hutan tanaman) dengan 22,7 ribu ha, dan konsesi migas dengan 20,3 ribu ha.

“Sangat penting bagi pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum di area izin dan konsesi dengan Area Indikatif Terbakar terluas. Tidak kalah penting, di tahun politik ini potensi pemberian izin di area hutan alam dan ekosistem gambut akan mengindikasikan praktik yang tidak memperhatikan perspektif pembangunan berkelanjutan,” ujar legal officer lembaga itu, Sadam Alfian.

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index